Sabtu, 14 Mei 2011

KATA-KATA MUTIARA

Cinta tak'n selamanya putih akan abadi, tpi kasih syang yg mendekati abadi, apabila kasih sayang tu tumbuh segar dan bersemi, maka cintapun akan mngikutinya.

Selasa, 10 Mei 2011

DEMOKRASI DALAM ISLAM

Posted by azier mapper on December 10, 2008
A.Bacaan Surat Ali Imran Ayat 159
Bacalah dengan fasih ayat dibaah ini!(lihat Al-Qur,an
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)

Isi Kandungan
Allah SWT menjelaskan bahwa setiap manusia hidup di dunia tidak terlepas dari problem dan persoalan yang dihadapi. Untuk itu mereka harus dapat memecahkan masalah tersebut. Adapun cara menyelesaikan persoalan hidup dalam surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan, harus dengan mencontoh dan mengambil teladan dari nabi Muhammad SAW yaitu dengan cara lemah lembut berdasarkan rahmat Allah SWT, setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Orang yang selalu bersikap keras dalam menghadapi masalah maka ia akan dijauhkan dalam pergaulan. Oleh karena itu, apabila kita terlanjur berbuat salah dan berlaku kasar kepada orang lain maka segeralah minta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Baik dengan tidak sengaja, apalagi disengaja.
Kalau kita mempunyai persoalan, sedang kita sudah memecahkannya dengan cara bermusyawarah yang kita kehendaki maka kita serahkan saja kepada Allah SWT apa hasil yang akan dicapai nanti. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertakwa dan berserah diri kepadanya.
Rasulullah telah memberikan contoh tentang musyawarah. Menjelang perang Uhud terjadi perbedaan pendapat antara beliau dengan sejumlah sahabat. Nabi SAW berpendapat sebaiknya orang Islam bertahan di dalam kota, tetapi sebagian sahabat beliau agar musuh dihadapai di luar kota. Nabi akhirnya menerima usul mereka walaupun dengan berat hati. Setelah terbukti kalah dalam perang itu, Nabi tetap bersikap lemah lembut kepada mereka.
Hal yang penting, selalu menyepakati sesuatu melalui musyawarah, yaitu semua pihak harus teguh dengan pilihan kesepakatannya, bukan menyesali hasil pilihan. Allah SWT pasti akan membela mereka yang telah bersikap istiqamah dan bertawakal kepada Allah.

B. Bacaan Surat Asy Syuura Ayat 38
Bacalah ayat dibawah ini dengan tartil dan benar! (Lihat Al-Qur’an Onlines di google)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy Syura : 38)

Isi Kandungan
Dalam ayat tersebut Allah menyerukan agar umat Islam mengesakan dan mnyembah Allah SWT. Menjalankan shalat fardu lima waktu tepat pada waktunya. Apabila mereka menghadapmasalah maka harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Rasulullah SAW sendiri mengajak para sahabatnya agar mereka bermusyawarah dalam segala urusan, selain masalah-masalah hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Persoalan yang pertama kali dimusyawarahkan oleh para sahabat adalah khalifah. Karena nabi Muhammad SAW sendiri tidak menetukan siapa yang harus jadi khalifah setelah beliau wafat. Akhirnya disepakati Abu Bakarlah yang menjadi khalifah.
Dalam ayat lain Allah berfirman: (Lihat Al-Qur’an Onlines di google)
Artinya: “…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah …”. (QS Ali Imran 159)
Pada akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa apabila kita diberi rizki harus dinafkahkan kepada kebaikan. Misalnya, diberikan kepada mereka yang membutuhkan baik secara individu maupun kelompok
Allah SWT menjelaskan bahwa setiap manusia hidup di dunia tidak terlepas dari problem dan persoalan yang dihadapi. Untuk itu mereka harus dapat memecahkan masalah tersebut. Adapun cara menyelesaikan persoalan hidup dalam surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan, harus dengan mencontoh dan mengambil teladan dari nabi Muhammad SAW yaitu dengan cara lemah lembut berdasarkan rahmat Allah SWT, setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah.

Orang yang selalu bersikap keras dalam menghadapi masalah maka ia akan dijauhkan dalam pergaulan. Oleh karena itu, apabila kita terlanjur berbuat salah dan berlaku kasar kepada orang lain maka segeralah minta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Baik dengan tidak sengaja, apalagi disengaja.

Kalau kita mempunyai persoalan, sedang kita sudah memecahkannya dengan cara bermusyawarah yang kita kehendaki maka kita serahkan saja kepada Allah SWT apa hasil yang akan dicapai nanti. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertakwa dan berserah diri kepadanya.

Rasulullah saw telah memberikan contoh tentang musyawarah. Menjelang perang Uhud terjadi perbedaan pendapat antara beliau dengan sejumlah sahabat. Nabi SAW berpendapat sebaiknya orang Islam bertahan di dalam kota, tetapi sebagian sahabat beliau berpendapat agar musuh dihadapi di luar kota. Nabi akhirnya menerima usul mereka walaupun dengan berat hati. Setelah terbukti kalah dalam perang itu, Nabi tetap bersikap lemah lembut kepada mereka. Hal yang penting, selalu menyepakati sesuatu melalui musyawarah, yaitu semua pihak harus teguh dengan pilihan kesepakatannya, bukan menyesali hasil pilihan. Allah SWT pasti akan membela mereka yang telah bersikap istiqamah dan bertawakal kepada Allah.

C. Surat Asy Syuura [42]: 38 tentang Anjuran Bermusyawarah

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy Syura : 38)

Isi Kandungan
Dalam ayat tersebut Allah swt menyerukan agar umat Islam mengesakan dan menyembah Allah SWT. Menjalankan shalat fardu lima waktu tepat pada waktunya. Apabila mereka menghadapi masalah maka harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Rasulullah SAW sendiri mengajak para sahabatnya agar mereka bermusyawarah dalam segala urusan, selain masalah-masalah hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Persoalan yang pertama kali dimusyawarahkan oleh para sahabat adalah khalifah. Karena nabi Muhammad SAW sendiri tidak menentukan siapa yang harus jadi khalifah setelah beliau wafat. Akhirnya disepakati Abu Bakarlah yang menjadi khalifah.

Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justeru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.Kondisi ini dipicu dengan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.  Di bawah ini, ada tulisan menarik tentang demokrasi dalam perspektif Islam. Tulisan ini sendiri berasal darihttp://www.syariahonline.com/new_index.php/id/7/cn/19725

APAKAH SISTEM DEMOKRASI HARAM?
Pertanyaan:
Apaka Demokrasi haram?
Apakah dizaman rosululloh ada sistem demokrasi?

Jawaban:Assalamu alaikum wr.wb.
Saudara Iwan yang dirahmati Allah. Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memosisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.

Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya: 
  • Kebebasan berbicara setiap warga negara. 
  • Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
  • Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas 
  • Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. 
  • Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 
  • Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). 
  • Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual
Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
  • Tauhid sebagai landasan asasi. 
  •   Kepatuhan pada hukum. 
  • Toleransi sesama warga.
  • Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. 
  • Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam". (al-A’râf: 54).

Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi 
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya: Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya
  • Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. 
  • Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
  • Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
  • Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. 

Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
  •   Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. 
  • Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. 
  • Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
  • Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.

Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.

Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
  1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. 
  2.    Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya 
  3.   Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
  4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
  5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. 
  6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
  7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
o   Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
o   Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

Secara etimologi Demokrasi berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Inilah yang membedakan demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865): “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat luas (public) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.

Sampai saat ini demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling baik. Demokrasi bisa berbentuk kepresidenan atau parlementer. Kedua sistem administrasi ini, mempunyai perbedaan penerapan di setiap negara. Contohnya, Presiden Amerika Serikat mempunyai posisi terkuat di negaranya. Dia menjabat sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan kepala angkatan bersenjata. Di lain pihak, presiden di negaranegara lain, di mana mempunyai sistem kepresidenan dalam administrasi pemerintahannya, tidak memiliki posisi yang kuat. Sama halnya dengan sistem parlementer. Sistem pemerintahan parlementer mempunyai perbedaan penerapan di banyak tempat . Di India, kepala negara
dipilih secara demokratis untuk masa jabatan tertentu.

Sedangkan di beberapa negara lainnya, kepala negara dijabat oleh seorang Raja, seperti halnya Inggris dan Jepang. Kedaulatan (Sovereignty) Islam, sebagai agama yang demokratis, menempatkan manusia setara dan sederajat tanpa mengenal kasta dan kepercayaan. Dengan konsekuensi, undang-undang yang dipertimbangkan oleh Islam haruslah bersifat demokratis. Dalam hal ini, Demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi barat dalam beberapa hal penting, di antaranya :
Pertama, Islam mengakui bahwa kedaulatan hanya di tangan Allah (“God”) dan para wali-Nya yang terpilih, yaitu dikenal sebagai khalifah. Seorang khalifah memerintah suatu negara atas nama Allah. Dia bukanlah pemimpin yang berdiri sendiri dan bebas berkehendak sesuai kehendak hatinya. Al Quran menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah dan tiada seorangpun yang sederajat dengan-Nya

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pendahuluan 
Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat dan Al-Khulafa' Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia internasional.

Namun dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan  Islam saat ini terlihat semakin jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat (baca: umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima oleh semua lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
 
Tinjauan Umum Mengenai Kepemimpinan 
Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin. sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan. 

Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk 2 mentransformasikan semua potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi mutivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan  sebaliknya, yang terjadi adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.

Kepemimpinan dalam Islam 
 
A. Hakekat Kepemimpinan 
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggotaanggota yang dipimpinya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. 

Seorang pemimpin akan dianggap lolos dari tanggungjawab formal dihadapan  orang-orang yang dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab dihadapan Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat  berat yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
"dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus, mereka akan kekal didalamnya" (QS.Al Mukminun 8-9)

Seorang pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia  akan diserahi tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai sifat  amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah 3 kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori) Nabi Muhammad SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi menyianyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya" (HR. Bukhori) Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenangwenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
 
B. Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan 
Pemimpin yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang, sebab pemimpin itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga, Negara dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak  dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin yang kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan atau di non aktifkan. Imam Al-mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung mengenai hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an-4
Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat. Dari sinilah para ulama' berpendapat bahwa menegakkan suatu kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah merupakan syarat bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta terhindar dari kehancuran dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang menjadi  harapan komponen masyarakat menjadi sangat urgen.
 
C. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam 
Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
  • Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil ('adalah) 
  • Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. 
  • Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya. Sehingga seorang pemimpin bisa secara langsung mengetahui persoalanpersoalan secara langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
  • Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai persoalan ditengah-tengah masyarakat. 5 
  • Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana memimpin dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang dapat ditunda sementara.
  • Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
  • Harus keturunan Quraisy. Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam
Muqoddimah-Nya bahwa, hadits "Al Aimmatu min Quraisyin" (HR. Ahmad dari Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang yang memenuhi persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat ada orang yang bukan dari Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia dapat diangkat sebagai pemimpin termasuk kepala Negara. 

PERMASALAHAN
 
Secara historis, demokrasi muncul sebagai respon terhadap system monarchi diktator Yunani pada abad 5 M. pada waktu demokrasi ditetapkan dalam bentuk systemnya dimana semua rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi pembuat undang-undang. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilainilai universal Islam. seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama'. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam (baca: murtad). 

Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka 6 tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam system demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antara warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam al-Qur'an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligame. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282). Disamping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam ma'siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelasjelas dilarang dalam Al-qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hali ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya
problem diatas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam al-Qur'an,  Assunnah dan ijtihad para ulama' 7

PEMBAHASAN

Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam 
Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan  kepemimpinan, kehidupan
bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsipprinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al-'adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
 
1. Prinsip Tauhid 
Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.
 
2. Prinsip Musyawarah (Syuro) 
Usyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga 
  1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. 
  2. Kepeutusan yang ditetapkan pandangan 8 minoritas. 
  3. Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas.
Maka ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa "demokrasi tidak identik dengan syuro" walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas  tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih (berhenti menyusui) anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya" Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah  membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan Assunnah yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya
hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
 
3. Prinsip Keadilan (Al-'adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-9 sulthoniyah-Nya memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur'an, kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak menbedambedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur'an surat an-Nisa' 58. "apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil". kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur'an dalam surat al infithar 6-7 dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat:  keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki sesuatau disisinya.  Jadi, system pemerintahan
Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing  power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.
 
4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua
bentuk pelanggaran. 10
 
KESIMPULAN
Syari'at Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan syari'at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari'at Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu'amalah, demi mewujudkan puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran  hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau oleh Allah Swt dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan  orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain.

Lebih lanjut lagi, Syari'at Islam merupakan satusatunya syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat Islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.
 
PENUTUP
Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Namun kenyataanya, kekuatan kapitalisme global dengan bebas mengeruk kekayaan alam Indonesia, membiarkan rakyatnya termiskinkan, sehingga jurang antara kaya dan miskin menjulang. Dan mayoritas rakyatnya tetap dalam penderitaan. dengan merasakan penderitaan rakyat, menyimak peringatan Allah Swt, merenungkan sinyalemen Rasulullah SAW, dan menyaksikan musibah yang silih berganti, maka tidak ada pilihan lagi selain  menjadikan tuntunan Allah Swt yang maha kuasa (baca: Syari'at Allah) sebagai pedoman dalam mengelola
bangsa dan Negara kesatuan republik Indonesia, dan satu-satunya solusi terhadap masalah bangsa.

Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam selalu mendambakan tampilnya kepemimpinan Islam didalam setiap level kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diharapkan mampu untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dan menjalankan system pemerintahan berdasarkan syari'at Islam secara kaffah, bukan dengan system demokrasi yang identik  dengan kekufuran. Juga untuk menjaga kemurnian ajaran ahlussunnah wal jama'ah versi wali-songo sekaligus untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Islam, diganti dengan undang-undang yang sesuai dengan syari'at Islam
yang berpihak dengan kepentingan umat Islam, sehingga tidak ada lagi aset-aset Negara yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti blok Cepu, 12 Freeport, dan lain-lain. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, diperlukan kesatuan visi antara umat Islam dan dukungan dari orang-orang yang punya kapabilitas ketokohan Islam, pondok pesantren, lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta membangun poros Islam yang melibatkan semua partai  yang berbasis dan berazaskan Islam.

TIPS Membangun Kepemimpinan
1.  Membangun kekuatan pribadi
2.  Membangun keahlian hidup dalam berkelompok
3.  Membangun keahlian dalam memimpin kelompok

Pelanggaran HAM dalam Tragedi Semanggi



Kasus pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik. Bahkan semua yang melanggar kebebasan seseorang dinilai melanggar HAM. Kondisi ini mengingatkan pada mencuatnya isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia yang pernah menjadi ikon kosmologi pada abad ke-18.
Pada masa itu hak-hak dasar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus dihormati penguasa. Tetapi, juga hak yang mutlak dimiliki oleh rakyat. Bahkan pada abad 18 muncul kredo (pernyataan kepercayaan) tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal. Hak yang tidak dapat dicabut dan yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia beralih untuk memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan modern. Serta tidak pernah berkurang karena tuntutan hak memerintah penguasa. Betapa HAM telah mendapatkan tempat khusus di tengah-tengah perkembangan kehidupan manusia mulai abad 18 sampai sekarang.
Seorang penganut hukum alam Locke menyatakan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Makna terdalam dari pernyataan Locke adalah untuk mencapai suatu tatanan kehidupan masyarakat diperlukan aturan ataupun perlengkapan yang dapat digunakan untuk menjaga eksistensi hak-hak dasar manusia. Lalu apa perlengkapan yang diperlukan dalam upaya penegakan HAM.
Jawaban yang paling tepat tentunya adalah hukum. Seperti ungkapan dari Kant bahwa manusia sebagai mahluk berakal dan berkehendak bebas sehingga negara memiliki tugas untuk menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Oleh karena itu penguasa dalam hal ini pemerintah tidak boleh melanggar maupun menghalangi. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum.
Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkan penegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harus diwarnai dengan carut-marut (segala coreng-moreng) dunia politik. Bahkan dalam rangka melaksanakannya diperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin orang yang telah putus syaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa. Demi kaum yang lemah.
Sepuluh tahun sudah tragedi  Semanggi berlalu tanpa ada kepastian hukum. Saat ini kembali bangsa Indonesia memperingati momentum Mei berdarah, yang telah melahirkan pahlawan reformasi. Namun banyak orang sudah mulai lupa makna di balik pejuangan para mahasiswa tersebut.
Belum adanya titik terang kasus Trisakti-Semanggi sangat erat hubungannya dengan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji bahwa pihaknya kesulitan menangani kasus Trisakti sebagai pelanggaran berat HAM (JawaPos, 13/05/2007). Tragedi  Semanggi yang dikategorikan termasuk  Pelanggaran HAM berat, menjadi banyak tanda tanya di masyarakat. Oleh karena itu tim penyusun makalah akan membahas lebih lanjut mengenai Tragedi Semanggi itu sendiri, Kejahatan Berat, kaitannya dengan HAM dan penanganan  dari pemerintah sendiri.
  
Penyebab Tragedi Semanggi
            Perjuangan Orde Reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Dengan dipelopori mahasiswa, rakyat Indonesia mulai melawan ketidakadilan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru dan memperjuangkan demokratisasi di Indonesia.
            Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan bahwa krisis ekonomi sejak tahun 1997 belum membaik. Begitu juga permasalahan penegakan hukum, keadilan, dan kepastian hukum yang masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, terjadi beberapa kali kesalahpahaman / bentrokan antara mahasiswa dan masyarakat dengan aparat pemerintah baik TNI maupun Polri serta terjadi peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kesalahpahaman dan bentrokan yang terjadi telah mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak mahasiswa serta masyarakat maupun TNI / Polri.
Peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat antara lain peristiwa Trisakti dan Semanggi I & II.
            Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
            Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.


Peristiwa Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka. Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.

 Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
  
Kejahatan Berat
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Pengertian
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan kejahatan yang sangat serius sehingga menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis). Dalam hukum internasional pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana terumus dalam kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan menurut hukum kebiasaan internasional maupun prisip-prinsip hukum umum. Praktik-praktik internasional menunjukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan jus cogens.
Kejahatan demikian menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional seara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan. Oleh karena itu, terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun dan dilakukan oleh warga negara lain.
Disamping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemanusiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa norma-norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Demikian pula di tataran nasional. UU Pengadilan HAM No.26/2000 (pasal 9) mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.
Unsur penting dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang dilakukan secara sistematis (systematic) atau meluas (widespread) dan serangan itu ditujukankepada warga sipil. Tindak kejahatan inilah yang diduga terjadi pada kasus Trisakti, Semanggi dan II.

Prinsip Non-Retroaktif dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan
            Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:
1.        Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secacara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif.
2.        Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik memungkinkan pengecualian asas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.

Pertanggungjawaban Komando
            Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility). Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dibawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission). Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan penyelidikan.
Prinsip Non-Retroaktif
Berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional yang diakui dan dihormati dalam hukum nasional prinsip non retroaktif tidak berlaku untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.

 Fakta dan Pola Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP HAM menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang dilakukan oleh pelaku tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut secara khusus adalah mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap kekuasaan politik untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU PKB.
KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.
Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan dalam ketiga peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini :
a.         Pembunuhan
Telah terjadi pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang panjang, yaitu pada Mei 1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan pembunuhan itu dilakukan terhadap mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis, anggota masyarakat yang berada disekitar lokasi demonstran, ataupun anggota masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi demonstran. Pembunuhan serupa juga dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).
b.        Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI (dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan, tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan yang serius.
c.         Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk menceritakan apa yang dialaminya.
d.        Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu menjelaskan nasib dan keberaan mereka.
e.         Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik
Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik dan mental terhadap korban.

Pemenuhan Unsur-unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Pidana
Serangan
Adanya serangan yang sistematis atau meluas terhadap warga masyarakat merupakan ciri utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari analisis terhadap ketiga rangkaian kejadian di atas disimpulkan bahwa telah terpenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Di bawah ini kami jabarkan analisis terhadap serangan beserta konsekuensi pertanggungjawaban pidananya.
Serangan yang dilakukan aparat TNI dan POLRI pada tiga rangkaian peristiwa tersebut sangat jelas bukan merupakan serangan dalam pengertian perang. Tetapi serangan dalam pengertian “suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”, sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penyerangan terhadap para demonstran pada ketiga peristiwa ini dan di daerah-daerah luar Jakarta tampak tidak terukur dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of force). Sebagaimana standar operasi pengendalian huru-hara penggunaan gas air mata, meriam air dan tembakan salvo memang dilakukan, akan tetapi penggunaan cara itu terutama senjata api dengan peluru karet atau tajam tetap harus dibatasi. Pada ketiga rangkaian peristiwa, para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat penghalau, tapi banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa kejadian terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi pengendalian itu di luar batas kewajaran. Setidaknya terdapat dua kasus penganiayaan (Semanggi I dan Semanggi II) yang dilakukan oleh pasukan pengendali demonstrasi sehingga mengakibatkan korban tewas.
Pola penyerangan yang terjadi di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya (yang dikenal dengan peristiwa Semanggi I) dan di jembatan Semanggi (yang dikenal dengan peristiwa Semanggi II), juga terjadi di daerah-daerah lain akan tetapi tidak terbatas pada penyerangan di sekitar kampus IKIP Negeri Yogyakarta yang menyebabkan tewasnya Mozes Gatot Katja, seperti di Purwokerto, Lampung, dan Palembang.

Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II
Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.

Landasan Hukum
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:
1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.        Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3.        Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.
4.        Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27 Agustus 2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I& II.

Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
1.        Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan kasus-kasus yang berkaitan
2.        Meminta keterangan pihak-pihak korban
3.        Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia
4.        Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia
5.        Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
6.        Kegiatan lain yang dianggap perlu

Masa Tugas
KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II melaksanakan tugas mulai tanggal 27 Agustus sampai dengan 27 November 2001 dan dapat diperpanjang selama 90 (sembilan puluh) hari apabila dipandang perlu.
Hasil penyelidikan KPP HAM Trisakti dan Semanggi I & II akan diserahkan kepada Sidang paripurna Komnas HAM untuk disahkan sebelum diserahkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti sampai dengan Pengadilan HAM.
Pada saat ini KPP HAM Trisakti dan Semanggi I & II sedang menjalankan kegiatannya sesuai dengan prosedur dan mekanisme kerjanya yang memenuhi standar internasional maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

KESIMPULAN
Penanganan dan penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi tidak pernah mendapatkan kepastian hukum. Sepertinya keberadaan UU HAM, Komnas HAM, dan KPP HAM tidak berdaya mengungkap tragedi kemanusiaan tersebut. Ironisnya justru memunculkan perbedaan pendapat. Apakah tragedi berdarah ini termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan. Sebenarnya ada apa dengan aparat penegak hukum kita.
Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkan penegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harus diwarnai dengan carut-marut dunia politik. Bahkan dalam rangka melaksanakannya diperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin orang yang telah putus syaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa.Demi kaum yang lemah.
Semangat negara hukum yang dianut Indonesia bukan hanya sekedar angan. Tetapi, merupakan pernyataan yang harus selalu menjadi acuan. Mengingat di dalamnya terkandung rasa hukum, kesadaran hukum, dan aspek keadilan.Dalam pelaksanaannya penegakan HAM memang bukan hal yang mudah, meskipun sudah ada dasar konstitusional. Hal itu disebabkan masih adanya kendala yang terus-menerus membayangi pelaksanaan HAM. Kendala pertama adalah kendala teknis-prosedural, yang menyangkut pembuktian secara hukum dan ketersediaan aturan hukum. Kedua, kendala politis yang ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui pengadilan (Moh. Mahfud MD, 2000).
Dalam rangka penegakan HAM pergeseran konsep negara hukum rawan terjadi. Terdapat pembenaran secara konstitusional berupa undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Akibatnya negara hanya akan menjadi negara undang-undang. Sarat ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu selayaknya Indonesia segera menghindar dari kondisi sekedar mengkambinghitamkan UU sebagai alasan dasar kegagalan pengusutan pelanggaran dan kejahatan.
Dalam rangka mencari jalan keluar dari masalah Trisakti-Semanggi bukan tidak mungkin panitia ad hoc HAM dibentuk. Bukankah di dalam hukum sendiri terdapat adagium yang diterima sebagai prinsip yakni salus populi suprema lex yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
Setiap tindakan dalam rangka menyelamatkan rakyat serta keutuhan bangsa harus dilakukan oleh negara. Karena tindakan penyelamatan merupakan hukum yang lebih tinggi dari hukum-hukum yang telah ada. Asalkan alasan-alasannya bisa diterima oleh rakyat dan bukan merupakan tindakan sepihak oleh penguasa.
Bagaimana mungkin tragedi Trisakti-Semanggi yang jelas-jelas telah menyebabkan hilangnya nyawa orang, bisa bebas dari upaya hukum. Apapun kendalanya dan tingkat kesulitannya tidak menjadi alasan untuk putus asa mengungkap tabir kejahatan pelanggar HAM.
Upaya memetieskan suatu tindakan pelanggaran memang bisa ditempuh sebagai alternatif terakhir ketika pelanggaran yang terjadi dianggap sudah terlalu lama berlalu. Itu pun dengan prasyarat pada saat itu belum ada peraturan yang berlaku. Sedangkan peraturan yang ada tidak berlaku surut. Namun, bukan berarti kita sebagai orang yang pernah memetik hasil dari upaya para pendahulu bisa berdiam diri. Penegakan hukum harus terus dilakukan.
Tragedi Trisakti-Semanggi mungkin telah menjadi sejarah. Namun jangan sampai penegakan hukum di Indonesia juga hanya menjadi cerita masa lalu. Jangan sampai suatu tindakan pelanggaran terlepas dari kaca mata hukum hanya karena tertutup oleh isu-isu yang sedang hangat beredar atau adanya kepentingan tertentu. Aparat penegak hukum harus terus melebarkan sayapnya demi mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Itu tugas yang jelas diamanatkan pada mereka.

REFERENSI


Tim Kewarganegaraan SMA. 2005. Kewarganegaraan Untuk Kelas XII. Jakarta: PT Galaxy Puspa Mega.
Tim Kewarganegaraan SMA. 2005. Kewarganegaraan Untuk Kelas X. Jakarta: PT Galaxy Puspa Mega.
(Kamis, 17 Juni 2004)
(Selasa, 29/05/2007 17:04 WIB)